INI YANG BOLEH DILAKUKAN SUAMI ATAS ISTERI PADA SAAT BERPUASA

INI YANG BOLEH DILAKUKAN SUAMI ATAS ISTERI PADA SAAT BERPUASA


Berikut ini penjelasan tentang Yang Boleh Dilakukan Suami Atas Isteri Pada Saat Berpuasa yang saya kutif dari buku Silsilah Al Hadist Ash Shahihah 1 Karya Syaikh Nashiruddin Al-Albani

٢۱۹ - كَانَ يُقَبِّلُنِي وَهُوَ صَائِمٌ وَأَنَا صَائِمَةٌ . يَعْنِي عَائِشَةُ

“Rasulullah r menciumku, padahal beliau sedang berpuasa. Saya juga sedang berpuasa (Saya Aisyah t).”

    Hadits ini ditakhrij oleh Abu Dawud (1/347). Imam Ahmad (6/179) melalui dua jalur, yang berasal dari Sufyan dari Sa" id bin Ibrahim dari Thalha bin Abdillah (bin Utsman Al-Qurasyi) dari Aisyah t secara marfu".
Saya menilai: Sanad hadits ini shahih. dan sesuai dengan syarat Bukhari.
Imam Ahmad juga rnentakhrijnya (6/134, 175-176, 169-170). Kemudian Imam Nasa'i di dalam Al-Kubra (Q. 83/2), Ath-Thayalisi (1/187) Asy-Syafi'i di dalam kitab Sunan-nya (1/260), Ath-Thahawi di dalam Syarhul-Ma'ani (11346). Al-Baihaqi (4/223), dan Abu Ya'la di dalam kitab Musnad-nya (2/215) melalui jalur lain, dari Sa'ad bin Ibrahim dengan matan:
"Rasulullah r hendak mencium saya. lalu saya berkata: "Saya sedang berpuasa. Mendengar itu beliau berkata: "Saya juga sedang berpuasa. Kemudian beliau mencium saya."

Hadits ini merupakan sanggahan terhadap hadits lain yang diriwayatkan oleh Muhammad bin Asy'ats yang berasal dari Aisyah t pula:
"Beliau tidak pernah menyentuh wajah saya sedikitpun selama saya berpuasa."
Sanad hadits ini dha'if, seperti telah saya jelaskan di dalam Al-Ahadits Adh-Dha 'ifah (lihat hadits no. 962).
Had its di atas dengan matan kedua disandarkan oleh Al-Hafizh di dalam Al-Fath kepada An-Nasa"i (lihat juz IV. hal 123).
Separoh dari matan hadits itu memiliki sanad lain dari Aisyah t yang diriwayatkan oleh Israil dari Ziyad dari Amer bin Maimun dari Aisyah t yang memberitakan:
"Rusudullah r pernah mencium saya padahal saya sedang berpuasa."
Hadits ini ditakhrij oleh Ath-Thahawi dengan sanad shahih. Israii di atas adalah putra Yunus bin Abu Ishaq As-Sabu. Sedang Ziyad adalah putra Ilaqah. Dalam periwayatan ini Imam Ahmad juga mentakhrijnya (6/258) melalui Syaiban dari Ziyad bin llaqah dari Amer bin Maimun yang memberitahukan: "Saya bertanya kepada Aisyah t tentang orang berpuasa yang mencium istrinya. la menjawab:
"Rasulullah juga pernah mencium ketika beliau sedang berpuasa. "
Saya menilai: Sanad hadits itu shahih. Syaiban adalah putra Abdur­rahman At-Tamimi Al-Bashri. Dia memenuhi kriteria sanad Imam Muslim. Imam Muslim sendiri juga mentakhrijnya di dalam Kitab Shahih-nya (3/136) melalui jalur lain dari Ziyad tanpa menunjukkan adanya pertanyaan dan disertai dengan tambahan: pada bulan Ramadhan. Riwayat dengan tambahan ini menurut versi Imam Ahmad (6/130).
Kemudian Imam Muslim juga memiliki jalur lain yang berasal dari Ikrimah dari Aisyah t (6/292):
"Bahwa Nabi r memberikan ciuman, padahal beliau sedang puasa, Pada diri Rasulullah kalian mendapatkan suri teladan."
Sanad hadits ini shahih. Ikrimah adalah Al-Barbari, seorang budak yang dimerdekakan oleh Ibnu Abbas yang telah mendengar langsung dari Aisyah t. Sedang Imam Ahmad (6/291) meriwayatkannya dari Ummu Salamah dengan matan yang sama dengan hadits Aisyah yang pertama. Sanadnva hasan jika dipakai untuk syahid (hadits pendukung).
 Hadits di atas menunjukkan kebolehan seseorang melakukan ciuman kepada istrinya pada siang had bulan puasa. Para ulama dalam hal ini berbeda pendapat. Hasilnya. muncul tidak kurang dari empat macam pen-dapat. Yang paling kuat adalah yang memperbolehkannya, dengan memperhatikan kondisi orang yang melakukan ciuman. Jika ia seorang pemuda yang dikhawatirkan bisa terdorong untuk melakukan "hubungan suami isteri" karena ciuman itu, maka tidak diperbolehkan. Hal inilah yang diisyaratkan oleh Aisyah t pada riwayat yang akan saya sebutkan. "Siapa pun yang antara kalian paling mampu menguasai nafsunya (birahinya). " Bahkan hal itu diucapkannya langsung, bukan sekadar isyarat, sebagaimana dijelaskan dalam riwayat yang ditakhrij oleh At-Thahawi (1/346) melalui Harits bin Amer. dari Asy-Sya'bi dari Masruq dari Aisyah t yang menuturkan: "Kadang-kadang, Rasulullah r mencium dan bersentuhan kulit denganku pada saat bcliau berpuasa. Bagi kalian yang sudah tua ataupun lemah biruhinya, tidaklah mengapa." Hadits ini juga diambil oleh Ibnu Abi Hatim (2/263). Namun tidak memberikan penilaian apapun terhadap hadits tersebut, baik tentang jarh (cacat) maupun ta'dilnya (keadilannya). Hadits ini memang banyak memiliki sanad marfu' yang saling menguatkan. Dan hal ini didukung oleh sabda Nabi r: "Beralihlah dari yang meragukanmu kepada apa yang tidak meragukanmu" Tetapi perlu dicamkan bahwa penyebutan syaikh (orang tua) pada hadits itu tidak selamanya menjadi ukuran. Yang menjadi ukuran adalah lemah atau kuatnya birahi yang dimiliki. Hal itu didasarkan pada kebiasaan yang terjadi. Dengan perincian inilah saya cenderung memahami hadits itu (meskipun riuayat-riwayatnya saling berbeda). Dengan pemahaman diperbolehkannya mencium pada waktu puasa. Apalagi ada hadits lain seperti hadits ini yang secara mutlak memperbolehkannya. Bahkan dalam riwayat lain. Aisyah dengan tegas menjawab pertanyaan Amer bin Maimun: "Pada diri Rasulullah kalian mendapatkan teladan." Riwayat lainnya juga menjelaskan kebolehan hal itu bagi semua usia, termasuk pemuda, sebab Aisyah mengatakan: "Saya sedang berpuasa, padahal pada waktu itu jelas usianya sangat muda. Saat ditinggal wafat oleh Rasul saja usianya baru 18 tahun.  Peristiwa senada juga terjadi pada diri Aisyah bin Thalha. Ia berada di sisi Aisyah t bersama suami tercintanya, Abdullah bin Abdirrahman. Tatkala Abdullah masuk, Aisyah t berkata kepadanya: "Mengapa engkau tidak mendekati istrimu, mencium atau bercumbu dengannya?"

Abdullah menjawab: "Apakah aku boleh menciumnya. sedang aku tengah berpuasa?"

Aisyah menjawab: "Mengapa tidak?" Hadits ini ditakhrij oleh Imam Malik (1/274). sedang Ath-Thahawi meriwayatkan hadits itu dari Imam Malik (1/327) dengan sanad yang shahih. Ibnu Hazem berkata: (lihat bukunya juz VI, hal211):

"Aisyah binti Thalhah adalah wanita tercantik pada masanya. Dan peristiwa itu terjadi pada masa Aisyah t. Jadi ia dan suaminya benar-benar masih muda belia."

Hadits ini dan yang sejenisnya mengisyaratkan bahwa Aisyah tidak mengkhawatirkan keduanya terperosok lebih jauh lagi. Karena itu A1-1 lafazh mengatakan (lihat Al-Fath. 4/123) setelah menyebutkan hadits itu dari jalur Nasa’i:
".... lalu ia (Aisyah) berkata: "Saya sedang berpuasa. tetapi beliau mencium saya." Hal ini semakin memperkuat apayang saya katakan, bahwa boleh tidaknya melakukan caiman adalah dengan melihat pengaruh yang diakibatkannya. bukan karena faktor usia. Pada waktu itu Aisyah memang masih sangat belia. Ha! ini bisa dibenarkan. tetapi bukan berarti menjadi ukuran. Namun karena alasan itulah ada pula yang membedakannya dengan faktor usia.

٢٢٠ - كَانَ يُقَيِّلُ وَهُوَ صَائِمٌ وَيُبَاشِرُ وَهُوَ صَائِمٌ وَكَانَ أَمْلَكُكُمْ ِلإِرْبِهِ
“Rasulullah mencium pada saat berpuasa, beliau menyentuh kulit pada saat berpuasa. Beliau paling mampu menguasai birahinya di antara kalian.”   
Hadits ini ditakhrij oleh Imam Bukhari (4/120-121, Al-Fath). Imam Muslim (3/135) Imam Asy-Syafi’i di dalam kitab Sunan-nya (1/261), Imam Abu Dawud (2/284), Imam Tirmidzi (2/48), Ibnu Majah (1/516-5117), Ath-Thahawi (1/345), Al-Baihaqi (4/230) dan Imam Ahmad (4/42-126) melalui beberapa jalur dari Aisyah t. Sedangkan At-Tirmidzi menilai: "Hadits ini hasan shahih."
Hadits ini memiliki makna lain dari hadits sebelumnya. yang berisi-kan tentang diperbolehkannya bersentuhan kulit pada saat berpuasa. Namun kali ini tentang sentuhan kulit lebih dari sekadar mencium. Para ulama memang berselisih pendapat tentang arti bersentuhan kulit. Al-Qari men-jelaskan: "Dikatakan bahwa yang dimaksudkan adalah seorang suami menyentuh istrinya pada anggota selain alat kelaminnya. Ada yang mengatakan. bahwa yang dimaksud adalah mencium dan menyentuh dengan tangan." Saya berpendapat: Tidak syak lagi bahwa ciuman tidak diartikan sebagai mubasyarah (bersentuhan). sebab huruf wau (kata sambung "dan") berfaedah memilah. Jadi kemungkinan artinya adalah yang pertama atau yang kedua. Yang pertama tampaknya lebih kuat, karena dua alasan:
1.  Hadits riwayat Aisyah t yang lain; "Jika salah seorang bermubasyarah.maka beliau memerintahkan agar ia berkain di alas tempat haidh. Saat itulah beliau bermubasyarah." Lalu Aisyah berkata: "Siapa di antara kalian yang mampu menahan birahinya. "
Hadits ini ditakhrij oleh Imam Bukhari (1/320) dan Imam Muslim {1/166-167) serta Imam lainnya.
2.    Al-mubasyarah di sini sama artinya dengan al-mubasyarah pada hadits yang menjelaskan puasa, sebab kata yang digunakan sama persis. Dalalah dan riwayatnya juga sama. Di sini juga tidak terdapat mukhashshish (pengkhususan makna) bagi kata itu (yang menyempitkan maknanya). Bahkan Aisyah t dalam hadits tentang puasa memberikan tafsiran terhadap kata "mubasyarah". Seperti riwayat berikut ini:

٢٢۱ -  كَانَ يُبَاشِرُ وَهُوَ صَائِمٌ ثُمَّ يَجْعَلُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا ثَوْبًا . يَعْنِي اْلفَرْجِ   
“Rasulullah r bermubasyarah. Beliau membuat tabir antara beliau dengan farji.”

Hadits ini ditakhrij oleh Imam Ahmad (6/59). Dia memberitahukan: "Telah meriwayatkan kepada kami Ibnu Namir dari Thalha bin Yahya yang berkata: "Telah meriwayatkan kepada saya Aisyah binti Thalha dari Aisyah t, bahwa Rasulullah r bermubasyarah...." Ibnu Khuzaimah juga mentakhrijnya di dalam kitab Shahih-mz.(\i\2Q).
Saya berpendapat: Hadist ini memiliki sanad jayyid (bagus). Semua perawinya tsiqah dan dipakai oleh Imam Muslim. Kalau saja Thalha ini tidak mendapat sedikit kritikan mengenai hafalannya, maka saya akan mengatakan bahwa sanad ini shahih. Tetapi ternyata memang Thalhah mendapatkan kritikan dan sementara ulama. Sedang Al-Hafizh di dalam At-Taqrib mengatakan: "Dia jujur namun melakukan kesalahan."

Saya berpendapat: Hadits ini memiliki arti yang sangat penting. yaitu tentang penafsiran mengenai al-mubasyarah, yang diartikan dengan "menyentuh wanita pada anggota selain kemaluan." Flat ini memperkuat penafsiran sebelumnya, yang dikutip oleh Al-Qari. Meskipun dalam mengutipnya dia menggunakan shighat tamridh (memakai kata qilu: "dikatakan"). Dengan demikian. hadits ini dapat dijadikan tendensi. Tak ada dalil syara' yang menentangnya. Bahkan saya telah menemukan pendapat ulama yang mendukung. Di antaranya adalah. penafsiran dari perawi hadits itu sendiri, yakni Aisyah  t. Dalam hal ini Ath-Thahawi meriwayatkan (I 347) dengan sanad shahih dari Hakim bin Iqal yang menceritakan: "Saya bertanya kepuda Aisyah  t: "Apa yang haram saya lakukan terhadap istri saya di saat saya sedang berpuasa.' Dia menjawub: "Kemaluannya."

Hakim ini dinilai tsiqah oleh Ibnu Hihban. Al-ljli sendiri menilainya: "Seorang berkebangsaan Bashrah, tabi'i dan tsiqah." Sedangkan Imam Bu-khari mengomentari hadits ini dalam pokok bahasan (4/120): "Bab Mubasyarah Bagi Seorang Yang Berpuasa." Kembaii pada Aisyah t. dia juga mengatakan: "Haram bagi dia kemaluan istrinya."

Sementara Al-Hafizh tidak ketinggalan memberikan komentarnva: "Ath-Thahaui menyambung sanad hadits itu melalui Abu Murrah. bekas budak Uqail. dari Hakim bin Iqal..." Penyandarannya kepada Hakim ini shahih. Hal senada dijelaskan pula dalam riwayat Abdurrazaq dengan sanad shahih dari Masruq yang menuturkan: "Saya bertanya kepada Aisyah t: "Apa yang halal dilakukan oleh seseorang terhadap istrinya di saat ia sedang berpuasa?'" Aisyah menjawab: "Semuanya halal. kecuali 'melakukan hubungan suami isteri"."

Saya mengetahui. Ibnu Hazem (6/221) menyebutkan hadits tersebut sebagai hujjah atas penolakannya terhadap orang yang memakruhkan persentuhan dengan istri di saat berpuasa. Kemudian saya sempat melihat naskah asli kitab Ats-Tsiqah di perpustakaan Adh-Dhahiriyyah. Damaskus yang menyebutkan pendapatnya sebagai berikut: (lihat juz I. hai. 25): "Hadits itu diriwayatkan oleh Ibnu Hazem dari Ibnu Umat, kemudian dari Ibnu Hazem dilanjutkan oleh Qatadah. Tidak diragukan bahwa Hakim memang benar-benar mendengarnya dari Utsman bin Allan."

Seorang muhaddits membuat catatan kecil di bagian tepi kitab ltu: "Al-Ijli. seorang penduduk Bashrah. adalah tabi'i dan berstatus tsiqah."

Kemudian Ibnu Hazem menuturkan suatu kisah dari Sa'id bin Jubair balwa ada seseorang yang melapor kepada Ibnu Abbas: "Saya telah menikah dengan putri paman saya. !a seorang wanita elok. Saya memboyongnya di bulan Ramadhan. Bolehkah saya menciumnya?"

Ibnu Abbas menjawabnya seraya bertanya: “Apakah engkau mampu meredam birahimu'?"

Orang itu menjawab: "Mampu."

Kemudian Ibnu Abbas berkata: "Boleh."

Namun orang itu bertanya kembali: "Bolehkah saya bermubasyarah dengannya?"

Ibnu Abbas bertanya: Apakah engkau mampu meredam birahimu'? la menjawab: "Mampu."

l.alu Ibnu Abbas pun menjawab: "Boleh."

Orang itupun bermubasyarah dengan istrinya. Namun ia bertanya lagi: "Bolehkah saya menyentuh kemaluannya?"

lbnu Abbas bertanya: "Mampukah kamu meredam birahimu?" Orang itu menjawab: "Mampu."

Ibnu Abbas berkata: "Peganglah kemaluannya.

Ibnu Hazem menilai: "Inilah sanad yang paling shahih dari Ibnu Abbas t." Selanjutnya Ibnu Hazem juga mengisahkan: "Melalui sanad yang shahih pula diceritakan dari Sa'ad bin Abi Waqqash. bahwa dia pernah ditanya: "Pernahkah engkau mencium istrimu sedang kamu dalam keadaan berpuasa?"

Sa'ad menjawab: "Pernah. Bahkan aku juga sempat menggenggam kemaluannya segala."

Juga diceritakan dari Amer bin Syarahbil bahwa Ibnu Mas'ud pernah bermubasyarah dengan istrinya pada tengah hari bulan puasa. Ini juga merupakan sanad yang paling shahih dari Ibnu Mas'ud t."

Saya berpendapat. atsar (segala perkataan dan perilaku sahabat. tabi'in dan lainnya) lbnu Mas'ud ini juga telah ditakhrij oleh lbnu Abi Svaibah (2'16V) dengan sanad shahih. sesuai dengan syarat Bukhari-Muslim. Sedangkan atsar Sa'ad disebutkannya dengan redaksi," Benar, bahkan aku memegang juga kemaluannya." Sanad ini shahih. sesuai dengan syarat Imam Muslim. Sedang atsar Ibnu Abbas oleh Ibnu Abi Syaibah juga ditakhrijnya, tetapi dengan redaksi yang agak singkat:

"Dia (Ibnu Abbas) memberikan keringanan kepadanya (orang yang bertanya) untuk mencium isterinya. bermubasyarah dan meletakkan tangannya di atas kemaluan istrinya, selama tidak mendorongnya melakukan yang lebih dari itu."

Sanad atsar itu shahih. sesuai dengan syarat Bukhari.

Ibnu Abi Syaibah juga meriwayatkannya (2/170/1) dari Amer bin Haram yang menceritakan: "Jabir ditanya tentang orang yang memandang istrinya di bulan Ramadhan. lalu mengeluarkan mani karena ereksi. apakah puasanya batal?" Beliau menjawab: "Tidak", ia boleh melanjutkan puasanya."

Hadits itu diulas oleh Ibnu Khuzaimah dalam: "Bab Rukhshah Ber-mubasyarah yang Tidak Mengundang "hubungan suami isteri / berjima" bagi Orang yang Berpuasa". Disertakan pula tentang dalil mengenai satu kata yang kadang-kadang memiliki dua arti. satu arti diperbolehkan. sedang arti lain dilarang.



= Baca Juga =



No comments

Maaf, Komentar yang disertai Link Aktif akan terhapus oleh sistem

Theme images by Maliketh. Powered by Blogger.
Back to Top


































Free site counter


































Free site counter